RakyatMaluku.co.id- KEPALA Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku, Abdul Haris, memaparkan perkembangan terkini terkait izin usaha pertambangan (IUP) logam maupun nonlogam di daerah itu. Hingga 2025, tercatat 30 IUP aktif untuk komoditas nonlogam jenis tertentu dan batuan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Maluku berdasarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2022.
“IUP tersebut tersebar di sejumlah daerah, yakni Ambon 2 izin, Buru 2 izin, Maluku Tengah 10 izin, Maluku Barat Daya 3 izin, Seram Bagian Barat 8 izin, Seram Bagian Timur 4 izin, dan Maluku Tenggara 1 izin. Dari jumlah itu, 17 masih eksplorasi dan 13 sudah tahap operasi produksi,” jelas Haris dalam rapat bersama Komisi II DPRD Maluku di Ambon, Jumat (26/9/25)
Untuk komoditas logam, kewenangan penuh berada di pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM. Saat ini, terdapat lima IUP logam di Maluku, terdiri atas empat di Kabupaten Maluku Barat Daya dan satu di Seram Bagian Barat. Beberapa di antaranya dimiliki perusahaan besar seperti Batu Tua, Karisma Permai, dan Gemala Borneo Utama.
Namun, Haris menegaskan persoalan serius masih dihadapi pemerintah daerah, yakni maraknya pertambangan tanpa izin (PETI). Dua titik PETI logam terpantau di Gunung Botak, Pulau Buru, dan di Seram Bagian Barat. “Penertiban sudah beberapa kali dilakukan, tetapi masih ada oknum yang beroperasi. Karena itu, gubernur telah mendorong legalisasi melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Saat ini ada 10 koperasi di Gunung Botak yang sudah kantongi IPR, tapi belum bisa beroperasi penuh,” katanya.
Selain itu, aktivitas ilegal juga ditemukan pada penambangan nonlogam, seperti di Negeri Lama dan Paso (Batu Gong). Kedua pelaku sudah dipanggil dan dibina oleh Dinas ESDM agar menghentikan aktivitas serta mengurus izin sesuai aturan.
Haris juga menjelaskan terkait kontribusi pertambangan terhadap penerimaan daerah. Sejak 2020 hingga 2024, Maluku menerima bagi hasil dari iuran tetap dan royalti mencapai Rp23,4 miliar. “Untuk pembagian, pemerintah pusat memperoleh 20 persen, provinsi 30 persen, dan kabupaten/kota penghasil 50 persen. Sementara untuk royalti, pembagiannya lebih kompleks, termasuk alokasi bagi pemerataan daerah lain,” paparnya.
Terkait tambang batu sinabar di Seram Bagian Barat, Haris menegaskan pemanfaatannya masih terkendala aturan karena berpotensi menghasilkan merkuri. “Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata melalui UU Nomor 11 Tahun 2017 dan mengeluarkan Perpres Nomor 21 Tahun 2019 tentang penghapusan merkuri. Prinsipnya, kegiatan tambang boleh dilakukan selama tidak menghasilkan merkuri,” ujarnya.
Menurutnya, langkah-langkah strategis terus ditempuh pemerintah provinsi bersama Forkopimda untuk menertibkan PETI sekaligus memastikan kegiatan pertambangan memberi manfaat nyata bagi masyarakat dan daerah. (Cik)