Oleh: Zainal Siauta (Kabiro SDA dan Energi Terbarukan Ismei Wilayah XI)

RAKYATMALUKU.CO.ID — TERNATE — Baru-baru ini masyarakat dikejutkan oleh hasil penelitian yang dilakukan Nexus Foundation bekerja sama dengan Universitas Tadulako. Penelitian tersebut menemukan kandungan logam berat berupa merkuri dan arsenik dalam sampel ikan dari perairan Teluk Weda, Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Tidak hanya itu, 47 persen sampel darah warga di sekitar wilayah tersebut juga mengandung merkuri, sementara 32 persen lainnya mengandung arsenik.

Menanggapi temuan ini, Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Dinas Kelautan dan Perikanan justru mengeluarkan kebijakan kontroversial, yakni menghentikan aktivitas melaut para nelayan. Langkah ini memunculkan pertanyaan besar, apakah ini solusi tepat, atau justru bentuk pengabaian terhadap hak hidup masyarakat pesisir?

Kita perlu melihat akar permasalahan. Pencemaran perairan Teluk Weda diduga kuat berasal dari aktivitas pertambangan yang terus berlangsung di sekitar wilayah tersebut. Limbah pertambangan yang dibuang ke laut berpotensi merusak ekosistem secara permanen dan berdampak langsung terhadap sumber kehidupan nelayan.

Kepala Biro (Kabiro) Sumber Daya Alam (SDA) dan Energi Terbarukan Ismei Wilayah XI, Zainal Siauta, turut angkat bicara. Ia menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih menekankan penguatan regulasi serta kajian analisis dampak lingkungan (amdal) terhadap perusahaan tambang yang beroperasi, bukan malah menghentikan aktivitas nelayan yang justru menjadi korban.

Secara historis dan kultural, masyarakat Maluku dan Maluku Utara hidup berdampingan dengan alam. Mereka menggantungkan hidup pada laut dan hutan secara turun-temurun. Oleh karena itu, kerusakan lingkungan bukan hanya soal hilangnya sumber pangan, tetapi juga ancaman terhadap identitas dan keberlangsungan hidup masyarakat lokal.

Perairan Maluku Utara menyimpan potensi kelautan luar biasa. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Filipina dan Samudra Pasifik, menjadikannya jalur migrasi penting berbagai jenis ikan. Keanekaragaman hayati laut yang tinggi seharusnya dikelola secara berkelanjutan melalui pengembangan industri perikanan, bukan ditekan oleh ekspansi pertambangan yang rakus ruang dan merusak.

Pemerintah harus menyadari bahwa keberadaan logam berat seperti merkuri dan arsenik sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Efeknya antara lain kerusakan otak, ginjal, dan jantung. Anak-anak yang mengonsumsi ikan tercemar akan mengalami gangguan pertumbuhan yang fatal bagi generasi mendatang.

Jika benar bahwa hampir seluruh ikan di Teluk Weda telah terpapar logam berat, maka timbul pertanyaan mendasar! Ke mana lagi masyarakat akan mencari ikan? Ekosistem laut tidak mengenal batas administratif. Ikan yang bermigrasi dapat menyebarkan kontaminasi ke wilayah perairan lain di Maluku Utara, bahkan Indonesia Timur secara umum.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah tidak boleh hanya berpikir praktis dan jangka pendek. Perlu ada langkah konkret untuk merehabilitasi ekosistem laut, memperkuat pengawasan pembuangan limbah tambang, dan merancang strategi ekonomi berkelanjutan. Sektor kelautan dan perikanan harus dijadikan pilar utama pembangunan, bukan hanya sekadar pelengkap.

Alih-alih bergantung pada hilirisasi pertambangan yang terbukti merusak lingkungan, Maluku Utara perlu menatap masa depan dengan membangun ekonomi yang berpihak pada alam dan masyarakatnya. Hanya dengan cara ini, kehidupan nelayan bisa diselamatkan, dan keberlanjutan lingkungan tetap terjaga. (*)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *