I Like Monday

Pelopor Pendidikan dari Kelimury

×

Pelopor Pendidikan dari Kelimury

Sebarkan artikel ini
Penulis bersama pelopor pendidikan dari Kelimury, Kabupaten Seram Bagian Timur Djufri Rumalesin, S.Sos.

Catatan: I Like Monday
Oleh: Ahmad Ibrahim

Ia termasuk sedikit di antara pelopor pendidikan. Namanya Djufri Rumalesin, S.Sos. Ia berasal dari Kampung Kelimury, nun di ujung timur Pulau Seram, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT).

“Kalau Anda lihat di ujung kanan bawah di peta Pulau Seram di situ ada Kelimury. Timurnya timur di Kabupaten Seram Bagian Timur berhadapan Laut Banda. Itulah kampung saya,” ujar Djufri Rumalesin, Sabtu malam, (6/9/25).

Tahun ini di Kampung Kelimury tepatnya di Desa Afang keciprat dana bantuan pusat dari Kementerian Pendidikan Nasional RI untuk pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 16 Kabupaten SBT senilai Rp 6,7 Miliar.

SMA Negeri 16 Kabupaten SBT termasuk beruntung. Melalui bantuan pemerintah pusat yang diberi nama Program Unit Sekolah Baru (USB) untuk revitalisasi 15 ruang belajar ini relatif baru.

Berdiri tahun 2022 dengan jumlah siswa 80 orang kini sekolah tersebut akan segera memiliki gedung representatif. Sekarang ini kapal tongkang pengangkut barang sedang menurunkan material di bibir pantai Desa Kumilang.

“Bila tak ada aral melintang akhir Desember tahun ini sudah selesai dibangun. Januari 2026 siap diresmikan,” ujar sang pelopor pendidikan dari Kabupaten SBT, itu.

Pria berusia 54 tahun ini adalah asli Kelimury dari Desa Afang. Ia disebut pelopor karena di kampungnya dia menjadi sosok pejuang yang ikut memprakarsai hingga berdirinya SMA Negeri 16 hanya dalam tempo tiga tahun.

Sebagai anak kampung ia merasa prihatin melihat perkembangan pendidikan di sana. Sejak 80 tahun Indonesia merdeka akses pendidikan paling timur di ujung timur Pulau Seram ini sangatlah terpinggirkan.

Tidak sedikit mereka yang tamat SD dan SMP tak bisa lagi melanjutkan pendidikan ke jenjang bangku SMA karena keterbatasan akses jalan dan perhubungan. “Jadi, saat ini siswa yang bersekolah sebanyak 80 orang di SMA Negeri 16 SBT itu berasal dari SMP PGRI saja. Tidak ada dari desa tetangga,” ujarnya.

Karena untuk pergi ke Desa Afang tempat dimana SMA Negeri 16 ini berdiri mereka harus melewati pesisir pantai. Tidak ada akses jalan dan jembatan.

“Sudah begitu mereka harus menyeberang dan berenang melewati sungai. Kalau Anda menyaksikan di video di medsos ada siswa berseragam yang berenang di alur sungai atau naik rakit melintasi bibir sungai itulah kondisi pendidikan di kampung saya,” ujarnya.

Tak mudah mengurai kondisi pendidikan nun di timur Pulau Seram itu. Untuk mereka yang bersekolah ke jenjang SMA diluar Kelimury, misalnya. Para siswa ini harus menyeberang dengan motor atau spedboat ke Pulau Geser dengan waktu tempuh lebih 2,5 jam.

Bisa juga ke Bula, ibukota Kabupaten SBT tapi harus melewati jalur laut ke Pulau Geser lagi kemudian menggunakan spedboat menyeberang lagi ke tempat transit di Desa Air Nanang, Kecamatan Kecamatan Lian Fitu.

Desa Air Nanang merupakan akses satu-satunya yang menghubungkan jalur transportasi darat dari dan ke Pulau Geser. Dari Desa Nanang barulah dengan mobil ke Bula melewati Kian Darat, dan Tutuktolu dengan jarak tempuh lebih tiga jam.

Dari Kelimury Anda juga bisa memilih jalan melingkar lewat darat ke Kecamatan Werinama kemudian ke Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah masih di Pulau Seram. Dari Masohi inilah kita melewati Kampung Waipia kemudian menanjak ke Gunung SS sepanjang lebih 100 Km.

Ada pula alternatif lain bisa melewati Kawasan Jakarta Baru dan melintas di sebelah utara Pulau Seram dengan waktu tempuh juga mencapai ratusan kilometer.

“Saking sulitnya rentang kendali pendidikan di kampung kami ini sehingga ada di antara orang tua mereka lebih memilih melanjutkan anaknya ke Sorong Papua, Masohi, atau Ambon,” ujarnya.

Ironi dunia pendidikan di Pulau Seram Bagian Timur ini tentu menyedihkan. Karena tak ada akses jalan dan jembatan untuk mereka yang bersekolah. Pun selain menyeberang pulau, tak sedikit para anak didik kita ini harus berenang atau menaiki rakit sembari menyeberang arus sungai. Mereka ini adalah tetangga desa seperti Desa Nekan, Desa Walang Tengah, Desa Liku Ratu, Desa Ta, dan Desa Kumilang.

“Kalau musim angin timur seperti sekarang ini mereka tak bisa ke sekolah karena luapan arus sungai. Bahkan kalau pun ke sekolah mereka harus melewati semak-semak belukar di bawah pohon,” ujarnya.

Semenjak di bangku SMA Djufri Rumalesin merasakan hal itu hingga kemudian setelah hijrah dan kuliah di Ambon ia bertekad pada waktunya dia harus berjuang agar di tempat tanah kelahirannya kelak bisa berdiri SMA.

Walhasil niat baik itu kini tersampaikan. Untuk mendapatkan rekomendasi dari dinas terkait di Ambon dia melakukan pendekatan dengan para pemangku kepentingan. Ia pernah mendirikan yayasan agar bisa mempermudah akses pendirian lembaga pendidikan di kampungnya itu.

“Setelah kuliah saya memiliki impian melalui yayasan yang saya dirikan ini bisa punya pesantren. Tapi, kalau pesantren kita harus punya bekal ilmu agama. Rupanya Tuhan menghendaki lain impian saya itu justeru kini berdiri SMA,” ujarnya.

Ia bersyukur setelah kerja keras puluhan tahun itu membuat mantan staf pada Lembaga Pendidikan Al-Fatah, Ambon, ini berhasil menjadi pelopor pendidikan di kampungnya. Tentu semua ini tak datang begitu saja. Dan, walhasil setelah mendapat izin pendirian dan izin operasional dari Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Maluku serta berbagai upaya pendekatan dengan tokoh asal Kabupaten SBT antara lain Sekda Maluku Ir.Sadali Lie, Kadis Pendidikan Nasional Provinsi Maluku Insun Sangadji, dan Kabid SMA Dinas Pendidikan Nasional Maluku Sirhan Zulkhaidir Pelu, itu berdirilah SMA Negeri 16 SBT berdasarkan SK yang ditandatangi Gubernur Maluku Murad Ismail.

Sejak berdiri tahun 2022 gedung yang dipakai menggunakan SMP PGRI. “Kalau pagi digunakan SMP PGRI maka kami gunakan siang hingga sore,” ujarnya.

Selain syarat izin pendirian dan izin operasional, tanah yang digunakan itu harus bersertifikat atas nama Dinas Pendidikan Provinsi Maluku bukan tanah hibah.

Walhasil setelah melalui pendekatan dengan tokoh masyarakat didapatlah lahan tidur seluas 10 hektare. Inilah lokasi yang kelak menjadi tempat lokasi SMA Negeri 16 SBT itu.

Saking pesimisnya mereka terhadap janji-janji politik banyak di antara mereka kala itu ada yang ragu atas niat baik yang disampaikan sang pioner Djufri Rumalessin. “Sampai ada yang bilang kita jangan lagi percaya dengan tipuan-tipuan politik,” ujarnya.

Setelah dia kumpulkan untuk membahas soal rencana dan niat baik pendirian SMA Negeri 16 bersama tokoh masyarakat dan para calon guru mereka pun rela mengabdi menjadi staf pengajar.

Masalahnya selama dana BOS belum cair tenaga pendidik harus siap untuk tidak digaji selama enam bulan. Namun dengan penuh keyakinan yang diberikan oleh seorang Djufri Rumalesin akhirnya mereka pun luluh dan bersedia mengajar tanpa digaji. Para guru yang diangkat ini adalah sarjana pendidikan dan sarjana sosial di kampungnya sendiri.

Hingga kini status mereka masih honorer kecuali Plt kepala sekolah adalah PNS karena ia ditunjuk langsung oleh Dinas Pendidikan Nasional. Selama dana BOS belum tersedia dari pemerintah pusat, gaji para guru ini ditalangi oleh seorang Jufri Rumalessin melalui bantuan dari para donatur.

Tak ada uang pangkal atau uang komite yang dibebankan kepada para siswa. Semua gratis kecuali gaji para guru dibayar bervariasi antara Rp 200.000 sampai Rp 300.000.

Kini, setelah lebih setahun dana BOS dicairkan sebagian dari dana operasional sudah bisa dialokasikan untuk menutupi gaji mereka.

“InsyaAllah kita bisa saling kontrol sehingga kedepan tidak ada kecolongan. Saya selalu ajak teman-teman guru untuk sama-sama memiliki tanggung jawab guna membesarkan sekolah yang kita cintai ini,” ujarnya.

*
Lahir dan besar di Desa Afang 15 April 1975, Djufri Rumalesin menamatkan pendidikan di SMA Negeri 2 Geser tahun 1990.

Setamat dari SMA ia pun hijrah dan melanjutkan pendidikan S1 Ilmu Administrasi Negara pada STIA Trinitas Halong Atas Ambon dengan gelar S.Sos.

Setamat kuliah ia pun menjadi Staf Lembaga Pendidikan Al-Fatah pada Yayasan Mesjid Raya Al-Fatah, Ambon.

Lebih 20 tahun ia mengabdi di bawah Lembaga Yayasan Mesjid Raya Al-Fatah yang dipimpin tokoh Maluku H.Abdullah Soulissa, itu.

Selain Rumah Sakit Al-Fatah, yayasan Al-Fatah juga punya Lembaga Pendidikan Al-Fatah. Inilah lembaga yang khusus menangani soal pendidikan.

Djufri Rumalesin termasuk satu di antara staf yang tekun semenjak Lembaga Pendidikan Al-Fatah ini di bawah kepemimpinan Drs Djamal Turuy, Drs Ismail Hatuwe, Drs.AW.Sialana, Drs Said Ipa, hingga Drs.Misbah Samaun.

Djufri Rumalesin memang punya kepedulian yang tinggi terhadap kampung halamannya. Pengalaman hidup tentang kondisi pendidikan yang memprihatinkan di ujung timur Pulau Seram ini membuat ia harus bekerja keras mendatangi para pemangku kepentingan di Ambon untuk bisa membantu meningkatkan derajat pendidikan di sana.

Bagi Djufri Rumalesin Kabupaten SBT adalah salah satu ikon sejarah penting untuk Indonesia. Sebab, di kawasan ini dulu menjadi tonggak sejarah sejak zaman Sultan Nuku, hingga era Presiden RI Soekarno dan Presiden Soeharto.

Soekarno dalam sebuah monumen di Geser tahun 1957 pernah menulis ungkapan: Dari Geser untuk Indonesia. Ini menandakan Geser pernah menjadi catatan penting dalam lintasan sejarah Indonesia.

“Bahkan saat masa Trikora Pak Harto juga pernah singgah di Desa Namalomin. Ini menunjukkan pula Kabupaten SBT menyimpan kekayaan sejarah. Tapi, sayang setelah 80 tahun Indonesia merdeka kondisi pendidikan di kampung kami masih terkebelakang. Semoga kedepan bisa jauh lebih baik,” ujarnya.

Djufri Rumalesin yang beristrikan wanita asal Kota Malang, Jawa Timur, Hj. Sitti Zuriah itu saat ini termasuk keluarga sukses. Memiliki dua anak perempuan benama Fifin dan Puput semuanya berhasil.

Fifin misalnya sukses menyelesaikan studi S1 dan S2 di bidang energi di Soviet dan kini bekerja di perusahaan tambang di Kalimantan. Sedangkan Puput yang tak lain PNS pada Pemkot Ambon itu berhasil meraih S1 dan S2 di bidang hukum di Jepang dan Belanda. (AHMAD IBRAHIM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *