Oleh : Saidin Ernas | Dosen di UIN A.M. Sangadji Ambon
Beberapa hari yang lalu, seorang perempuan berwajah teduh melangkah masuk ke ruang kerja saya. Namanya Silvia Natalia Patty, seorang guru Pendidikan Agama Islam dari Kepulauan Aru, Maluku, yang baru saja menuntaskan belajarnya di Program Studi Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ia juga baru saja dikukuhkan sebagai wisudawan PPG di UIN Abdul Muthalib Sangadji Ambon.
Namun, yang membuat perjumpaan ini begitu berkesan bukanlah toga yang telah dikenakannya, melainkan kisah panjang perjalanan hidup yang ia bagikan. Kisah tentang perjalanan iman, keberanian, dan ketangguhan seorang perempuan dalam mempertahankan keyakinan.
Silvia bukanlah lahir sebagai seorang Muslim. Ia tumbuh di tengah keluarga Kristen yang taat di Ambon. Perjalanan spiritualnya dimulai secara perlahan ketika menempuh pendidikan sebagai seorang analis laboratorium di sebuah akademi di Makassar. Di sana, ia kerap berdiskusi dengan teman-teman Muslim, membaca buku-buku dasar tentang shalat, bahkan belajar Iqra sendirian di kamar kosnya.
Diam-diam, ia terkesan, lalu berlatih gerakan shalat, menyalin kaligrafi sederhana, dan merasakan panggilan hati yang makin kuat. Hingga akhirnya, di Masjid Al-Markaz Makassar, ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebuah titik balik yang mengubah seluruh jalan hidupnya.
Namun, keputusan itu bukan tanpa risiko. Sang ibu tercinta, yang mendengar kabar keislaman purinua, meledak dalam kemarahan. Silvia diminta meninggalkan Islam atau menghentikan pendidikannya. Bahkan, sumpah keras terlontar dari mulut sang ibu, membuat Silvia terbuang dari rumah dan tidak diakui lagi sebagai anak. “Saya benar-benar merasa sendirian,” kenangnya lirih. Tapi keyakinannya tidak tergoyahkan. Ia memilih bertahan bersama suaminya, meski harus melewati fitnah, pengusiran, bahkan pelecehan.
Di tengah luka, Silvia tak berhenti belajar. Didukung suaminya, Moh Ali Tunyanan, seorang lelaki Kei yang penuh cinta. Ia akhirnya melanjutkan kuliahnya yang dulu pernah dijalaninya di Kota Makasar. Kali ini ia memilih kuliah di sebuah perguruan tinggi Islam di Tual, menempuh jalan sunyi penuh tantangan.
Pada 2018, Silvia memberanikan diri ikut seleksi CPNS guru Pendidikan Agama Islam. Dengan pengetahuan agama yang masih terbatas dan bacaan Al-Qur’an yang tertatih-tatih, ia sempat ragu. Tapi Allah menjawab doa-doanya, Silvia lulus dengan peringkat pertama, menyisihkan sejumlah peserta yang memiliki kemampuan lebih unggul darinya. Tangisnya pecah, bukan hanya karena status barunya sebagai PNS, tapi karena merasa perjuangannya tidak sia-sia.
Yang paling mengharukan adalah ketika pintu keluarga akhirnya terbuka kembali. Sang ibu yang dulu menolak keras, luluh melihat keteguhan putrinya. Perlahan, ia merangkul kembali Silvia dan cucu-cucunya. Bahkan semua keluarga besarnya di Ambon, menerima Silvia apa adanya.
Buat Silvia ini adalah anugrah terbesar dari Allah yang tiada banding, disayang suami, sayang ibu dan keluarga besarnya. Di tengah keluarga besar yang tetap beragama Kristen, ia tetap anggun mengenakan pakaian hijabnya dengan penuh percaya diri. Dan kini biasa disapa penuh sayang dengan panggilan “Bu Haji” dari Aru.
Bagi Silvia, semua ini adalah anugerah terbesar dari Allah yang tiada banding; memiliki suami yang penuh cinta, seorang ibu yang tidak pernah kehilangan cintanya, serta keluarga besar yang tetap mendukungnya.
Di tengah lingkar keluarga besarnya yang masih memeluk agama Kristen, ia tampil anggun dalam balutan hijab yang dikenakan dengan penuh percaya diri, seolah menegaskan bahwa perbedaan keyakinan tak pernah menjadi penghalang kasih sayang. Kini, dengan penuh kehangatan, ia kerap disapa “Bu Haji” dari Aru, sebuah panggilan yang bukan hanya tanda penghormatan, tetapi juga simbol penerimaan dan cinta yang melampaui sekat-sekat agama.
***
Di ruang kerja saya siang itu, saat Silvia bercerita, saya ikut larut dalam haru. Setiap kalimatnya mengalir jujur, seakan membuka lembar demi lembar perjalanan hidup yang penuh luka sekaligus keajaiban. Sesekali ia terdiam, menunduk dalam, seakan sedang menyusun keberanian untuk melanjutkan cerita yang begitu personal. Matanya berkaca-kaca, namun suaranya tetap tegar, seakan ingin menegaskan bahwa semua cobaan yang ia lalui hanyalah bagian dari jalan panjang menuju kedewasaan iman.
Saya yang mendengarnya tak bisa menahan haru dan rasa hormat, di hadapan saya duduk seorang perempuan yang sederhana, tetapi menyimpan ketangguhan luar biasa dalam dirinya. Saya mungkin tidak akan bisa bertahan ketika berada pada posisi dirinya. Bagaimana mungkin seorang perempuan muda sanggup menanggung penolakan dari ibu kandungnya, diusir dari keluarganya, lalu tetap berdiri teguh mempertahankan pilihan imannya?
Ketabahannya membuat saya menyadari bahwa kekuatan sejati tidak selalu hadir dalam sosok yang lantang bersuara, melainkan dalam keheningan hati yang kokoh menghadapi badai kehidupan. Dalam kelembutan wajahnya, saya melihat keberanian yang jarang dimiliki banyak orang, keberanian untuk setia pada kebenaran yang diyakininya, meski harus berjalan seorang diri.
Kisah Silvia adalah kisah tentang keberanian menapaki jalan keyakinan meski harus kehilangan banyak hal, lalu menemukan kembali cinta yang sempat terputus. Ini juga kisah tentang kasih seorang ibu yang pada akhirnya mampu mengalahkan kebencian, serta tentang keluarga besar yang belajar menerima perbedaan dengan penuh respek.
Kisahnya memberi pesan penting, bahwa iman sejati bukanlah sekadar pilihan pribadi, tetapi juga tentang bagaimana kita tetap berdiri teguh di tengah badai, dan terus berdoa untuk dipertemukan kembali dengan orang-orang terkasih, hingga akhirnya menemukan damai dalam pelukan keluarga.
Di tengah masyarakat yang kadang mudah retak karena perbedaan keyakinan, perjalanan Silvia seakan mengingatkan kita bahwa cinta keluarga dan sikap saling menghormati jauh lebih kuat daripada dinding pemisah agama. Ia menjadi bukti nyata bahwa di atas segala perbedaan, selalu ada ruang untuk kasih sayang dan penerimaan.
Kisah Bu Guru Silvia adalah undangan bagi kita semua untuk belajar bahwa ketulusan, kesabaran, dan keberanian bisa melembutkan hati yang paling keras sekalipun. Bahwa perbedaan tidak harus menghapus ikatan darah, dan bahwa setiap manusia berhak menemukan jalan spiritualnya sendiri tanpa harus kehilangan rumah tempat ia pulang. Semoga…..!