Oleh: Saidin Ernas
Dosen dan Peneliti di UIN A.M. Sangadji Ambon
Tanggal 23 September 2025 lalu, dua kampus besar keagaman di Maluku, Universitas Islam Negeri (UIN) A.M. Sangadji dan Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, menorehkan jejak penting dalam sejarah kebudayaan akademik Maluku.
Mereka menggelar Panas Gandong, sebuah kegiatan yang diisi dengan workshop, seminar, orasi ilmiah, hingga penampilan seni kolaboratif, yang ditutup dengan ritual simbolik mengunyah siri pinang sebagai tanda sumpah persaudaraan yang dibacakan secara bersamaan oleh rektor UIN dan IAKN. Acara ini melibatkan pula lembaga nasional seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Sejenak kita bisa menganggap kegiatan ini hanya seremonial akademik yang diberi sentuhan adat. Namun, jika dibaca lebih dalam, Panas Gandong adalah sebuah proyek akademik dan praksis sosial yang memadukan spirit tradisi Maluku dengan wacana akademik modern. Di titik ini, kita dapat melihat sebuah kontekstualisasi identitas Maluku. Bahkan kegiatan ini, menandai pertemuan antara warisan leluhur yang menjunjung persaudaraan dan visi akademik yang menekankan dialog lintas iman dan disiplin ilmu. Dengan demikian, Panas Gandong tidak sekadar merawat ingatan kultural, melainkan juga membuka ruang bagi lahirnya model baru relasi sosial dan pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai lokal Maluku.
Tradisi sebagai Modal Sosial
Gandong dalam tradisi Maluku adalah persaudaraan geneologis antara warga dan negeri yang dahulu pernah dipisahkan oleh ruang geografis, iman, bahkan politik kolonial, tetapi terus dipelihara melalui ritual dan ikrar leluhur. Sementara Pela adalah persaudaraan sosial-politik yang lahir dari peristiwa tertentu di masa lalu, seperti bencana, perang, konflik, atau perjanjian hidup bersama. Dua konsep ini sama-sama menunjukkan betapa masyarakat Maluku memiliki kearifan tradisional dalam membangun solidaritas lintas batas.
Tradisi Pela dan Gandong, meski pernah dianggap rapuh dan gagal dalam mencegah konflik sosial di Maluku, tetapi dalam perjalanan kontemporer kembali dihidupkan sebagai jembatan penghubung dalam masyarakat Maluku yang terpecah akibat konflik identitas dan kepentingan. Beberapa tahun terakhir banyak negeri melakukan panas pela atau panas gandong untuk merajut Kembali persaudaraan yang terkoyak. Revitalisasi ini menunjukkan bahwa tradisi tidak harus dipandang sebagai peristiwa masa lalu, melainkan bisa menjadi sumber daya kultural yang dapat diperbaharui untuk menjawab tantangan modernitas.
Dengan kata lain, Pela dan Gandong kini tidak hanya berfungsi sebagai warisan simbolik, tetapi juga sebagai instrumen rekonsiliasi sosial, rekonstruksi identitas kolektif, dan penguatan demokrasi berbasis budaya lokal. Lebih jauh lagi, tradisi ini dapat berperan dalam memperkuat relasi akademik melalui kolaborasi lintas agama dan disiplin ilmu, seperti yang tercermin dalam kerja sama antara UIN AMSA dan IAKN Ambon yang memadukan nilai kultural leluhur dan praktik akademik modern.
Akademik dan Tradisi
Kontekstualisasi “Panas Gandong” oleh UIN AMSA dan IAKN Ambon menjadi menarik untuk didiskusikan karena ia menghubungkan ruang akademik dengan ruang tradisi. Prof. Amin Abdullah, Ketua Komisi Kebudayaan AIPI, yang didaulat memberi orasi ilmiah pada forum itu, menekankan pentingnya paradigma interkonektif dalam ilmu pengetahuan. Artinya, ilmu tidak boleh terkurung dalam sekat agama atau disiplin semata, melainkan harus saling berjumpa dan berdialog. Semangat ini tampak nyata dalam ritual sumpah gandong kedua rektor, yang mengikat persaudaraan akademik sekaligus menyalakan kembali api tradisi.
Kegiatan ini juga menunjukkan bahwa perdamaian dan persaudaraan tidak cukup hanya dijaga dengan ingatan masa lalu, tetapi juga harus dihidupkan dalam praktik masyarakat kontemporer. Dengan memasukkan “Panas Gandong” ke dalam kurikulum akademik dan seni, universitas telah menggeser praktik adat dari sekadar seremoni menjadi media pendidikan dan rekonsiliasi sosial. Lebih dari itu, ia menjadi sarana pembentukan kesadaran kritis generasi muda tentang pentingnya dialog lintas iman dan budaya sebagai fondasi hidup bersama di Maluku. Dengan demikian, tradisi tidak hanya dirawat, tetapi juga dimaknai ulang untuk menjawab kebutuhan zaman.
Sependek ingatan penulis, sebenarnya kegiatan Panas Gandong yang dilakukan dua universitas keagamaan ini, merupakan publikasi atas sejumlah kolaborasi dan hubungan saling membantu laksana saudara, yang telah dikerjakan sejak lama. Sejak beberapa tahun terakhir, para dosen dan peneliti dari UIN AMSA dan IAKN Ambon saling menopang dalam tugas pengajaran maupun kegiatan sosial. Saya sendiri pernah mengalami langsung hal itu, ketika diundang sebagai dosen yang mengajar mata kuliah Islamologi di Jurusan Teologi IAKN Ambon selama tiga tahun. Sebuah pengalaman yang sangat berkesan karena membuka ruang dialog lintas iman di ranah akademik. Di sisi lain, dosen-dosen IAKN, seperti Prof. Yance Z. Rumahuru, juga kerap bolak-balik mengajar di sejumlah program studi di UIN AMSA, karena beliau sendiri dikenal menekuni studi-studi tentang Tradisi Islam di Hatuhaha-Maluku Tengah.
Tantangan Kedepan
Namun, pertanyaannya kritisnya adalah apakah “Panas Gandong” cukup hanya berhenti pada seremoni? Sejarah Maluku pascakonflik 1999–2004 menunjukkan bahwa slogan “orang basudara” atau bahkan Pela-Gandong sering kali digunakan secara mistifikatif, lebih banyak sebagai simbol politik ketimbang praksis sosial (Ardiman, 2025).
Bahayanya, sumpah dan ritual yang diulang bisa kehilangan makna jika tidak disertai kebijakan nyata yang memperkuat keadilan, kesetaraan, dan solidaritas. Itulah sebabnya sosiolog Anthony Giddens (1991) dalam salah satu karyanya Modernity and Self-Identity, mengingatkan bahwa tradisi hanya akan bertahan jika mampu direfleksikan dan dikontekstualisasikan dalam dunia modern. Tanpa refleksi kritis, “Panas Gandong” bisa saja berakhir menjadi festival budaya tahunan tanpa dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat Maluku.
Itulah sebabnya “Panas Gandong” mestinya dilihat sebagai awal sebuah gerakan sosial berbasis akademik. UIN AMSA dan IAKN Ambon perlu menindaklanjutinya dalam bentuk yang lebih konkrit di semua bidang tridarma perguruan tinggi; pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Selain itu, perlu diperkuat melalui perjumpaan dan interaksi keilmuan antar mahasiswa dan dosen sebagai wujud nyata persaudaraan akademik.
Bahkan sudah saatnya, UIN AMSA dan IAKN Ambon mengambil inisiatif berkelanjutan untuk pengarusutamaan nilai-nilai Gandong dalam kebijakan publik, kurikulum sekolah, program pemerintah daerah, hingga agenda pembangunan yang berkeadilan. Melalui langkah konkret tersebut, Panas Gandong tidak berhenti sebagai seremoni, melainkan berkontribusi terhadap praktik hidup yang menyatukan masyarakat Maluku di tengah perbedaan iman, etnis, dan kepentingan.
Dengan demikian, Panas Gandong UIN AMSA dan IAKN Ambon memberi kita pelajaran penting, bahwa persaudaraan bukanlah warisan statis, melainkan proyek dinamis. Ia lahir dari sumpah leluhur, tetapi juga harus terus dipanaskan oleh generasi masa kini melalui ilmu, seni, dan kontribusi kebijakan. Jika Maluku ingin menjadi laboratorium perdamaian dan keberagaman di Indonesia, maka Panas Gandong harus bergerak dari simbol menuju praksis, dari seremoni menuju transformasi akademik dan sosial. Semoga….!