RAKYATMALUKU.CO.ID — Krisis politik Nepal mencapai puncaknya setelah Presiden Ram Chandra Poudel mengundurkan diri hanya beberapa jam setelah Perdana Menteri KP Sharma Oli resmi meletakkan jabatan, Selasa (9/9/2025).
Kedua pemimpin itu mundur di tengah situasi kacau akibat demonstrasi besar-besaran yang dipimpin generasi muda atau Gen Z. Aksi protes yang pecah sejak Jumat (5/9/2025) menuntut perubahan menyeluruh dalam kepemimpinan negara.
Massa turun ke jalan untuk menentang pemblokiran media sosial serta mengekspresikan amarah publik atas dugaan korupsi pejabat tinggi.
Di tengah ketidakpastian politik, militer Nepal disebut-sebut siap mengambil alih kendali negara. Panglima Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, menyerukan agar seluruh pihak menahan diri dari kekerasan.
“Kami menyerukan semua pihak menghentikan aksi kekerasan dan mengedepankan penyelesaian damai. Dialog adalah satu-satunya jalan keluar dari krisis ini,” ujar Sigdel, dikutip dari News18.
Ratusan demonstran menyerbu kantor Perdana Menteri dan membakar sejumlah rumah milik tokoh politik, termasuk kediaman PM Oli di Bhaktapur.
Saat itu, Oli sedang di kediaman resminya di Balwatar. Selain itu, gedung Mahkamah Agung dan Parlemen Nepal turut menjadi sasaran pembakaran massa.
Unjuk rasa juga menyebar ke berbagai wilayah lain di Kathmandu, seperti Kalanki, Kalimati, Tahachal, dan Baneshwor, serta daerah Chyasal, Chapagau, dan Thecho di distrik Lalitpur.
Demonstran meneriakkan berbagai slogan, di antaranya “KP Chor, Desh Chhod” (KP pencuri, tinggalkan negara ini) dan “Ambil Tindakan Terhadap Pemimpin Korup”.
Menurut sumber dalam pemerintahan Nepal, Oli belum berencana meninggalkan negara tersebut dalam waktu dekat.
Kelompok pedemo Nepal yang mayoritas terdiri dari anak muda dan mahasiswa, mengaku sudah lama gerah dengan budaya korupsi merajalela di lingkaran elite politik.
Gen Z Nepal menggunakan media sosial seperti Reddit dan Instagram untuk mengekspos gaya hidup mewah anak-anak pejabat, termasuk mobil sport dan liburan mewah ke luar negeri.
Mereka mempertanyakan asal-usul kekayaan tersebut, yang diduga kuat berasal dari praktik korupsi. Pemerintah dinilai gagal memberi jawaban yang memuaskan, bahkan justru membatasi kebebasan berbicara dengan memblokir media sosial.
Pelarangan itu memicu kemarahan publik. Mereka menganggap pembatasan akses ke platform digital merupakan bentuk represi terhadap hak untuk menyampaikan pendapat.
Pemerintah Nepal sempat memblokir 26 situs media sosial yang dianggap tidak terdaftar secara resmi, termasuk Facebook dan X. Larangan ini diberlakukan pada Jumat (5/9/2025) dan memicu gelombang protes yang semakin membesar.
Namun, pada Senin (8/9/2025) malam, pemerintah mencabut larangan tersebut dan memulihkan akses ke platform-platform tadi sebagai upaya meredam kemarahan publik.
Meski begitu, aksi demonstrasi tetap berlangsung dan semakin meluas, termasuk dengan pembakaran ban di jalan-jalan dan serangan terhadap rumah pejabat.
Di Kota Lalitpur, para demonstran dilaporkan melempari rumah Menteri Komunikasi Prithvi Subba Gurung dengan batu. Gurung adalah sosok yang memerintahkan pemblokiran media sosial. (RIO)