RAKYATMALUKU.CO. ID — AMBON — Pagi baru saja menyingsing di Ambon. Matahari belum sempurna muncul, tetapi seorang lelaki tua sudah berdiri di teras sebuah bangunan sederhana yang penuh aktivitas, Rumah Aspirasi Masyarakat Maluku Mercy C. Barends, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Daerah Pemilihan Maluku.
Dengan langkah perlahan, ia mulai menyapu dedaunan yang gugur malam tadi. Sapu bergesekan dengan lantai, menyapu debu, namun juga menyapu sunyi dalam hatinya. Namanya Leonardo Wairata, atau yang akrab disapa Opa Leo.
Di usia 65 tahun, saat tubuh seharusnya beristirahat, Opa Leo memilih tetap bekerja. Bukan karena ambisi, bukan pula karena terpaksa. Tetapi karena di tempat itu, ia merasa hidup kembali.
Di rumah itu, ia merasa berarti. Di situ, ia menemukan rumah, bukan sekadar tempat berlindung dari hujan, tetapi tempat di mana dirinya diterima, dihargai, dan dicintai.
Hidup Opa Leo tak pernah mudah. Lahir di Ambon, 4 Januari 1960, di tengah keluarga sederhana di kawasan Karang Panjang, ia tumbuh dengan harapan-harapan kecil dan kenyataan besar.
Pendidikan terakhirnya hanya sampai SMPP, Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan, setara SMA. Setelah lulus sekolah di tahun 1981, dunia kerja menyambutnya dengan keras.
Ia menjadi buruh bangunan, kuli kasar, lalu mencoba peruntungan sebagai satpam di PT. Telkom Ambon. Pada 1982, ia berhasil masuk sebagai tenaga keamanan dan kemudian diangkat menjadi staf. Namun, tahun 1988, sebuah persoalan pribadi yang tak pernah ia ceritakan membuatnya mengundurkan diri.
Dalam diam, ia menelan kecewa dan memulai lagi dari nol. Ia merantau ke Maluku Utara, bekerja di perusahaan kayu di Taliabu. Enam tahun bergelut dengan kerasnya hutan, ia kembali ke Ambon pada 1999, di saat tanah kelahirannya terbakar oleh konflik sosial.
Rumah-rumah hangus, saudara terpisah, dan luka menganga di mana-mana. Tapi Opa Leo tetap berdiri, menyusun ulang hidup dari puing-puing harapan.
Kini, ia tinggal di rumah kecil bersama istri dan dua keponakan di kawasan Bere-Bere. Hidup pas-pasan, tapi hati tetap lapang. Sampai akhirnya, di tahun 2018, langkahnya sampai ke sebuah tempat yang tak ia sangka akan menjadi rumah terakhir dalam pengabdiannya, Rumah Aspirasi Mercy Christy Barends atau RA MCB.
“Ibu Mercy itu bukan sekadar atasan. Beliau itu seperti cahaya,” ucapnya, suara parau menahan haru. “Beliau terima saya tanpa tanya masa lalu. Tidak lihat siapa saya. Tapi lihat niat kerja keras saya,” sambung Opa Leo.
Setiap hari, Opa Leo membersihkan kantor, menyuguhkan teh dan kopi untuk tamu, dan memastikan semua ruangan siap ditempati. Tugasnya sederhana, tapi cinta yang ia beri begitu besar. Ia tak pernah mengeluh, bahkan merasa terhormat bisa melayani.
Yang paling membekas adalah saat Ibu Mercy mengajaknya berlibur ke Bali bersama seluruh Tim RA MCB. “Tiga hari saya di Bali. Pertama kali saya naik pesawat. Saya kira hidup saya tak akan pernah sampai di sana. Tapi Ibu Mercy bawa saya seperti keluarga,” kenangnya sambil tersenyum, matanya berkaca.
Bagi Opa Leo, Rumah Aspirasi bukan sekadar tempat bekerja, itu adalah tempatnya menebus masa lalu, menghidupi masa kini, dan menginspirasi masa depan. Ia menyebut Ibu Mercy sebagai teladan hidup, dan berharap cucu-cucunya kelak bisa memiliki hati seperti beliau.
“Saya tidak tahu sampai kapan bisa bertahan. Tapi saya janji, saya akan terus bekerja sampai Tuhan panggil pulang,” ujarnya dengan suara lirih sambil menundukkan kepala.
Selain Mercy, ia juga mengagumi sosok Victor Soukotta, atau Kiki, Direktur Rumah Aspirasi MCB. “Dia seperti Ibu Mercy. Suka merangkul, humoris, bekerja tim dengan konsep kekeluargaan, dan selalu cari jalan keluar kalau ada masalah,” katanya. “Saya merasa dihargai sebagai bagian dari keluarga.”
Dalam dunia yang kerap mengukur nilai manusia dari gelar, kekayaan, dan pencapaian, Opa Leo membuktikan bahwa martabat sejati terletak pada kesetiaan, kejujuran, dan ketulusan hati. Ia bukan siapa-siapa di mata dunia, tapi di mata rekan-rekannya di Rumah Aspirasi MCB, ia adalah penjaga semangat, penguat harapan, dan pembawa damai.
“Saya percaya, Tuhan selalu beri tempat untuk orang yang setia. Saya temukan tempat itu di sini,” tuturnya pelan, sambil mengenang masa lalu yang keras.
Dalam usia senja yang sunyi, Opa Leo telah menemukan rumahnya. Bukan dari batu dan semen, tapi dari kasih yang tak bersyarat, dari kerja yang penuh makna, dan dari manusia-manusia baik yang menerimanya tanpa syarat.
Dan dari rumah kecil itu, sebuah pesan besar disampaikan kepada kita semua:
Bahwa hidup bukan tentang menjadi hebat, tapi tentang menjadi berarti bagi semua yang membutuhkan. (RIO)