RAKYATMALUKU.CO.ID — AMBON — Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Mercy Chriesty Barends, menilai bahwa kebijakan fiskal pemerintah pusat sangat merugikan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), termasuk Maluku.
Pernyataan itu disampaikan Mercy, kepada wartawan usai menjadi narasumber dalam Dialog Publik Kebijakan Efisiensi Anggaran, Bagaimana Nasib Maluku? yang digelar DPD PDI Perjuangan Provinsi Maluku di lantai II Hotel Pacific, Ambon, Sabtu, 17 Mei 2025.
Menurut Mercy, kebijakan efisiensi anggaran telah membuat Maluku kehilangan alokasi dana sekitar Rp1,3 triliun yang seharusnya masuk tahun ini. Akibatnya, hal itu justru menghambat pembangunan dan pelayanan publik di wilayah kepulauan.
“Dampak dari efisiensi ini, anggaran yang mestinya bisa masuk ke Maluku akhirnya batal. Entah masih diblokir di pusat atau tidak akan digunakan sama sekali. Akibatnya, pelayanan publik sangat terbatas. Dan hal ini tentu sangat merugikan daerah 3T,” tegas Mercy.
Sebagai daerah kepulauan yang tergolong 3T, lanjutnya, Maluku menghadapi tantangan geografis yang berbeda dengan wilayah daratan seperti Pulau Jawa. Tanpa pemangkasan pun, pelayanan publik di Maluku sudah menghadapi berbagai kesulitan. Kini, dengan pemotongan anggaran, kondisi makin memburuk.
“Kita sudah kesulitan menurunkan angka kemiskinan yang masih di posisi keempat tertinggi nasional. Sekarang dengan pemangkasan ini, ekonomi makin mandek, daya beli masyarakat turun, dan risiko resesi terbuka lebar,” ujarnya.
Mercy mengungkapkan bahwa sebagian besar aktivitas ekonomi Maluku bertumpu pada dana APBD, karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat terbatas. Efisiensi anggaran pusat membuat sejumlah program daerah terpaksa dihentikan atau dikurangi volumenya.
“PAD kita kecil. Lebih dari 90 persen ekonomi Maluku ditopang dana transfer dari pusat. Kalau itu dipotong, maka dampaknya berganda, ekonomi berhenti, pendapatan masyarakat anjlok, kualitas hidup turun,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung lemahnya koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan anggaran.
“Ini momentum untuk kita duduk bersama, membongkar sistem perencanaan anggaran kita yang selama ini parsial dan sektoral. Tidak bisa provinsi jalan sendiri, kabupaten/kota jalan sendiri,” tandasnya.
Mercy menyoroti besarnya dana yang dikucurkan pusat ke Maluku. Ia menyebut, total dana DIPA dari pemerintah pusat yang mengalir ke provinsi, kabupaten/kota, dan Kementerian/Lembaga di Maluku tahun 2025 mencapai lebih dari Rp20 triliun. Dalam lima tahun, angkanya bisa menembus Rp120 triliun.
“Pertanyaannya, kenapa dengan dana sebesar itu kita masih miskin? Ada yang salah dalam tata kelola. Uang sebanyak itu tidak boleh habis begitu saja tanpa perubahan nyata bagi rakyat,” beber MCB, sapaan akrab Mercy Barends.
Sebagai contoh, Mercy menekankan pentingnya perencanaan pembangunan yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Salah satunya di sektor perikanan.
“Jangan hanya kirim ikan segar. Kalau kita punya industri pengolahan, bisa ciptakan nilai tambah. Ikan, udang, teripang, bisa kita olah dan ekspor dalam bentuk produk jadi dengan nilai berkali lipat,” paparnya.
Dialog publik ini menghadirkan sejumlah akademisi dan aktivis yang sepakat bahwa Maluku memerlukan kebijakan fiskal yang adil serta perencanaan pembangunan yang menyeluruh untuk keluar dari kemiskinan struktural yang menahun. (RIO)