AMBON

Dari Diskusi Buku Badi Dji Djailani, Suluk Sang Kapita dari Bumi Gamrange

Tipis. Jumlah halaman 74. Plus 20 halaman pembuka. Tentu bukan jumlah halaman yang jadi soal tapi isi bukunya justeru jauh lebih penting.

BUKU karya penulis Moehar Sjahdi Divinubun terbitan 2025 berjudul: Suluk Sang Kapita, Jejak Pengabdian Tanpa Batas Badi Dji Djailani, ini menjadi catatan menarik pada acara bedah buku yang menampilkan para pemerhati sosial, antropolog, dan jurnalis di Lantai 2, Kafe Pasir Putih, Ambon, Rabu, (17/9/25).

Di antara para pembedah saya termasuk di dalamnya. Mereka adalah antropolog Pdt Dr.Rudy Rahabeath, Dr Rido Pellu mantan Kabid Perpustakaan dan Kearsipan Perpustakaan Maluku, Novi Pinontoan wartawan senior/Pemred Suaramaluku.com, dan Zairin Embong Salampessy jurnalis/fotografer/Pemred Potretmaluku.com.

Diawali pengantar yang disampaikan sang penulis buku Moehar Sjahdi kita seolah dibawa pada sebuah kisah masa lalu untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah seputar sosok sang pemimpin laut atau penguasa laut di Bumi Gamrange.

Lao sendiri dalam terminologi bahasa setempat dikenal dengan nama lain laut. Jadi Kapita Lao artinya Panglima Laut. Dan, nama Badi Dji Djailani atau akrab dipanggil Badi sebagaimana yang ditulis dalam buku ini tak lain adalah Kapita Lao untuk wilayah timur Pulau Halmahera yang berada dalam tiga aliansi wilayah: Patani, Weda, dan Maba di bawah Kesultanan Tidore.

Ketiga perkumpulan antarkomunitas lokal ini dikenal dengan Gamrange atau “tiga negeri bersaudara”. Inilah wilayah yang telah ikut berperan dan memainkan peran penting dan strategis dalam sejarah panjang penaklukan wilayah Kesultanan Tidore.

Di bawah pemberontakan Sultan Nuku melawan hegemoni kolonialisme barat melalui tangan VOC yang bercokol di tanah Maluku hingga ke Raja Ampat, Papua, bahkan Vanuatu di Pasifik.

Dalam sejarah seperti ditulis dalam buku ini Gamrange tak sekadar sebagai wilayah pendukung, tapi merupakan wilayah strategis sebagai kekuatan militer dan logistik bagi Sultan Nuku dalam memimpin pergolakan.

Ini menunjukkan sebuah perlawanan masyarakat Gamrange di ujung timur Pulau Halmahera yang bersifat kolektif melawan imperialisme dengan Sultan Nuku sebagai tokoh sentral.

Peran Sultan Nuku dalam sejarah pergolakan sendiri seperti tercatat pads banyak literatur tak saja dengan Gamrange tapi hingga di ujung timur di Pulau Seram, Provinsi Maluku.

Begitu pentingnya pola hubungan antaretnis yang bersifat kolektif seperti yang ditunjukkan pada masyarakat Gamrange hingga menjadikan para kapitalis barat terusir dari tanah Maluku.

Buku ini setidaknya ingin mengungkapkan pada kita ada yang terlupakan dari sejarah panjang peran masyarakat lokal di Maluku Utara dan Maluku yang kala itu telah menjadikan laut menjadi poros penting sebagai jalur diplomasi dan politik kekuasaan maupun perdagangan.

Laut sebagai kekuatan penghubung kini seolah terabaikan tak lagi menjadi hal penting padahal laut adalah simbol kekuatan.

Di era Presiden Jokowi, kata Moehar Sjahdi, kita mengenal salah satu gagasan yakni Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Sayang dalam praktiknya gagasan besar itu hanyalah sebuah pepesan kosong yang kita rasakan hari ini dengan nama Tol Laut itu.

“Di Maluku kita juga mengenal gagasan besar yang terkenal dengan nama Maluku Lumbung Ikan Nasional. Sayang, semua ini hanya sekadar wacana,” ujarnya.

Tidak ada political will kepada kita di Maluku sebagai wilayah yang lebih 96,7 persen didominasi oleh laut. Karena itu harus ada narasi perlawanan di tengah ketidakadilan atas dominasi negara.

Boleh jadi nama Kapita Lao pun kini terasa asing bagi kita yang hidup saat ini karena tak lagi melihat laut sebagai beranda depan membangun kekuatan dan diplomasi politik kekuasaan.

Dalam konteks sejarah, menurut penulis Moehar Sjahdi, baik dilihat dari sisi pendekatan teoritis maupun ekologi peran laut begitu penting. Laut tak sekadar sebagai simbol tapi ia merupakan penanda (penunjuk arah).

Lao dalam artian laut adalah sebuah identitas kultural di Maluku sebagai penanda tempat. Ia sebagai poros maritim yang menghubungkan antarpulau, baik dalam konteks politik kekuasaan dan perdagangan.

“Ka lao, ka dara, ka atas, dan ka bawah bagi kita di Maluku Utara adalah kata yang menunjukkan tempat. Ka lao artinya ke laut. Ia menjadi identitas penghubung,” ujarnya.

Lao juga berarti beranda depan kita yang menjadi poros maritim di Maluku Utara dan Maluku hingga ke Papua. Laut juga telah berperan penting menjaga kedaulatan sang penguasa laut di bawah Provinsi Kesultanan itu.

Dalam konteks Gamrange hari ini laut bukan lagi menjadi beranda depan, tapi ia telah menjadi sekat antarwilayah karena adanya ketidakdilan akibat didominasi oleh negara.

Potensi laut yang kita baca hari ini hanya sekadar simbol bukan lagi menjadi sumber kekuatan untuk memakmurkan dan meningkatkan kesejahteraan.

Pun tanah, hak adat/ulayat kini tak lagi menjadi wahana untuk mendorong kemajuan bagi kemakmuran daerah tapi yang terjadi justeru menjadi lahan perebutan dan konflik kepentingan antarelite dengan para korporat kapitalisme melalui tangan para pemangku kepentingan.

Di sinilah adanya ketidakadilan. Laut sebagai wilayah adat telah dipertentangkan antara negara dengan korporat. Penguasaan lahan dengan sederet aturan dan regulasi untuk meraup kekayaan sumber daya alam kita baik tambang, migas, dan hasil bumi di Tanah Gamrange nun di ujung timur Pulau Halmahera tentu menjadi catatan.

Ribut-ribut soal kasus penguasaan lahan pertambangan hari ini oleh para korporat di wilayah kita hanyalah sebuah potret dari peran hegemoni kapitalis yang harus disikapi dan dijaga kelestariannya untuk kemakmuran daerah. Bukan sebaliknya menjadi sumber bancakan.

Di sini peran para tokoh lokal menjadi penting. Kita perlu punya para “Kapita Lao” yang perlu dilibatkan sebagai simbol perlawanan dalam setiap keputusan politik untuk menjaga kelestarian sumber daya alam kita dari tangan negara dengan para konglomerat.

Menurut Moehar Sjahri, ada kontestasi dimana negara terlalu dominan atas kekuasaan para pemimpin adat di daerah. Ini terjadi hampir merata. Tidak saja di Bumi Gamrange di Halmahera Timur tempat dimana Sang Suluk Kapita Lao Badi Dji Djailani berasal, tapi juga terjadi di Raja Ampat, dan Nusa Tenggara Timur.

*
Tokoh yang ditulis dalam buku ini Sang Kapita Lao Badi Dji Djailani juga dikenal sebagai pengusaha pemilik PT. Adhita Nikel Indonesia (ANI).

Ia adalah tokoh kelahiran di Kampung Soagimalaha, Maba, Gamrange, 25 Desember 1964.

Dia pernah menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Penambang Nikel Indonesia 2017-2022.

Secara genealogis, Kapita Lao Badi Dji Djaelani masih keturunan Kapita Quljum Bin Djaelani yang punya pertalian nasab keilmuan yang terhubung dengan Syaikh Abdul Qadir Al Jaelani sang sufi dari Persia, itu.

Tanpa mengkultuskan sang tokoh, penulis buku ini mengatakan seandainyapun klaim ini benar, maka Kapita Lao Badi merupakan tokoh ekonomi sekaligus pemimpin masyarakat adat di Gamrange yang patut diakui eksistensinya sebagai tokoh pembangunan masyarakat lokal di kampungnya.

Seperti dikutip: “Badi Dji Djailani lahir dari tanah ini. Namun, perjuangannya bukan lagi dengan tombak dan panji-panji. la berperang dalam ranah baru-bisnis tambang, di tengah badai regulasi, konflik kepemilikan, dan tarik menarik antara investasi dan adat. Seperti para Kapita Lao terdahulu, ia menjaga wilayahnya. Bedanya, bukan dari bajak laut atau serdadu VOC, melainkan dari ancaman modernísasi tanpa akar. Dalam balutan jas dan sorban, ia tetap mewakili roh perlawanan-rohaniwan adat yang tahu bahwa nikel dan emas tak boleh menyingkirkan hutan, laut dan sejarah.”

“Paragraf ini dapat kita maknai bahwa Badi Dji Djaelani menjadi tokoh sentral telah melakukan transformasi sifat-sifat kepahlawanan seorang Kapita Lao yang secara turun temurun diwariskan pada keluarganya. Jika perjuangan di masa lalu adalah berperang melawan pasukan VOC atau bajak laut yang ingin merampas kemerdekaan orang Gamrange, pada masa kini perjuangan dilakukan dengan menjaga komunitas masyarakat di kawasan itu,” tulis Prof Cahyo Pamungkas, Guru Besar Riset pada Riset Kewilayahan BRIN dalam prolog. (AHMAD IBRAHIM)

Exit mobile version