AMBON

Kemiskinan Jadi Bahan Bakar Konflik di Maluku

×

Kemiskinan Jadi Bahan Bakar Konflik di Maluku

Sebarkan artikel ini
Dr. Paulus Koritelu

RakyatMaluku.co.id – KONFLIK antarwarga kampung bertetangga di Maluku dinilai terus berulang karena persoalan akar penyebab yang tidak pernah tuntas, terutama faktor kemiskinan dan ketimpangan sosial yang menjadi bahan bakar konflik di masyarakat.

Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pattimura (Unpatti), Dr. Paulus Koritelu, mengatakan konflik dan perdamaian merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ia menilai, pemerintah dan aparat keamanan selama ini hanya menyelesaikan faktor pemicu konflik, bukan penyebab utamanya.

“Penyebab pemicu itu misalnya orang mabuk lalu berkelahi dan melibatkan banyak orang. Tapi penyebab utama, seperti persoalan batas tanah atau konflik peradaban masa lalu, belum pernah benar-benar diselesaikan,” ujar Koritelu kepada Rakyat Maluku, Selasa (14/10/2025).

Menurutnya, selama akar masalah tidak disentuh, potensi bentrokan akan terus muncul, bahkan di lokasi dan dengan pelaku yang sama. Ia menekankan pentingnya peran para tokoh adat dan masyarakat negeri untuk duduk bersama mencari solusi permanen atas konflik-konflik lama.

“Sudah waktunya orang Ambon atau negeri raja-raja duduk bersama untuk luruskan ini. Kalau tidak dibenahi hari ini, jangan bermimpi konflik akan berhenti,” tegasnya.

Koritelu menambahkan, faktor ekonomi juga menjadi variabel penting yang memperkuat potensi konflik. Kemiskinan dan kesenjangan sosial, katanya, menciptakan kondisi rentan di mana masyarakat mudah terprovokasi.

“Orang kalau perutnya kenyang, diajak berkelahi tidak mau. Tapi kalau lapar dan miskin, belum diajak pun sudah mau buat kacau,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, konflik yang terjadi di desa kerap bergeser ke kota karena mobilitas warga yang tinggi. Perpindahan masyarakat antara kampung dan kota menyebabkan ketegangan sosial mudah menyebar dan berdampak pada kehidupan orang basudara di perkotaan.

“Kadang konflik di kampung bisa menjalar ke kota, atau sebaliknya, karena hubungan sosial dan mobilitas warga yang begitu erat,” jelasnya.

Koritelu berharap, kesadaran semua pihak perlu dibangun agar persoalan lama tidak terus dibawa ke ruang-ruang sosial yang baru, terutama di wilayah perkotaan yang lebih heterogen. (AAN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *