RakyatMaluku.co.id – DI balik jargon investasi untuk kesejahteraan, PT Space Island Maluku (SIM) ternyata meneken kontrak lahan dengan harga yang jauh dari layak. Di Seram Bagian Barat (SBB), perusahaan ini hanya membayar Rp5 juta per hektar untuk jangka waktu 35 tahun. Artinya, pemilik tanah adat hanya menerima Rp142.857 per tahun jumlah yang bahkan lebih kecil dari harga satu karung beras.
Skema kontrak murah ini menimbulkan gejolak. Konflik antara masyarakat adat dan perusahaan tak terhindarkan, bahkan menelan korban jiwa. Alih-alih menghadirkan manfaat, kehadiran PT SIM justru memicu luka sosial di tengah masyarakat.
Tokoh masyarakat SBB, Marthen Siahay, SH, menilai praktik PT SIM tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Menurutnya, perusahaan selama ini bersembunyi di balik narasi “investasi” sambil menekan rakyat pemilik tanah.
“Sejak awal saya sudah bilang, PT SIM ini bermain sebagai playing victim. Mereka mengancam mau cabut investasi hanya karena masalah 15 hektar. Padahal, lahan yang mereka kuasai sudah puluhan bahkan ratusan hektar,” ungkap Siahay, Sabtu (27/9/25)
Ia menilai konflik kecil kerap dipelintir menjadi isu besar untuk melemahkan posisi masyarakat maupun pemerintah daerah.
“Saya menduga konflik sengaja dimainkan agar masyarakat dan Pemkab SBB tertekan. Karena itu pemerintah daerah dan DPRD harus lebih jeli melihat pola ini,” tegasnya.
Lebih jauh, Siahay menegaskan kontrak timpang yang merugikan rakyat tidak boleh terus berlangsung. Jika dibiarkan, praktik semacam ini akan menjadi preseden buruk bagi investasi di Maluku.
“Jangan sampai investasi hanya jadi kedok untuk menguras sumber daya. Rakyat adat tidak boleh terus-menerus menjadi korban di tanahnya sendiri,” pungkasnya. (Cik)